Minggu, 10 Januari 2016

GAYA-GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA PERPUSTAKAAN PERGURUAN TINGGI


Perpustakaan perguruan tinggi (PT) sebagai perpustakaan akademik telah dan akan terus memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan suatu perguruan tinggi. Perpustakaan akademik sangat diperlukan untuk riset, pengajaran dan pembelajaran. Secara fisik, perpustakaan PT biasanya berlokasi di tengah kampus dan dianggap sebagai “jantung perguruan tinggi”. Ia juga merupakan sumberdaya yang sangat bernilai bagi bagian lain dari masyarakat.
Dalam Perpustakaan Perguruan Tinggi: buku pedoman (1994) dinyatakan bahwa: Perpustakaan perguruan tingi adalah unit pelaksana teknis (UPT) perguruan tinggi yang bersama-sama dengan unit lain, turut melaksanakan Tri Dharma perguruan tinggi dengan cara memilih, menyinpan, mrngolah, merawat serta melayankan sumber informasi kepada lembaga induknya pada khususnya dan masyarakat akademis pada umumnya.
Menurut Sulistyo (1993:51), perpustakaan perguruan tinggi adalah perpustakaan yang terdapat pada perguruan tinggi, badan bawahannya, maupun badan yang menfaliasi dengan perguruan tinggi, dengan tujuan utama membatu perguruan tinggi melaksanakan Tri Darma Perguruan Tinggi.
Tujuan Perpustakaan Perguruan Tinggi
Tujuan dari pendidikan perguruan tinggi untuk meningkatkan kualitas dari perguruan tinggi tersebut, sekaligus juga meningkatkan sumber daya manusia (SDM) dan juga untuk mencerdaskan setiap orang yang bernaung di perguruan tinggi tersebut.
Menurut Sulistyo-Basuki (1993:52) secara umum tujuan perpustakaan perguruan tinggi adalah sebagai berikut :
a.       Memenuhi keperluan informasi masyarakat perguruan tinggi, lazimnya staf pengajaran dan mahasiswa, sering pula mencakup tenaga administrasi perguruan tinggi.
b.      Menyediakan bahan pustaka rujukan (referens) pada semua tingkat akademis, artinya mulai dari mahasiswa tahun pertama hingga ke mahasiswa program sarjana dan pasca sarjana.
c.       Menyediakan ruang belajar untuk pemakai perpustakaan.
d.      Menyediakan jasa peminjaman yang tepat guna bagi berbagai jenis pemakai.
e.       Menyediakan jasa informasi aktif yang tidak saja terbatas pada lingkungan perguruan tinggi tetapi juga lembaga industri lokal.
Kepemimpinan di Perpustakaan Perguruan Tinggi
Berbagai ahli berpendapat seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya dalam memimpin suatu organisasi, satu dan lainnya mempunyai cara yang berbeda-beda. Hal ini akan terliahat saat pemimpin itu memimpin rapat, mengambil keputusan, menegur kesalahan pada bawahannya, menegakkan disiplin dan lain-lain. Hal ini akan mempengaruhi organisasi yang dipimpinnya kelak. Ada dua pandangan tentang hal ini. Pertama pandangan klasik yang menganggap bahwa pegawai itu pemalas, bekerja hanya karena peringatan, bekerja sedikit mungkin.
Sedangkan pandangan modern menganggap bahwa pergawai itu mempunyai perasaan, emosi, aktif dan giat bekerja. Pandangan yang berbeda itu menyebabkan adanya gaya kepemimpinan yang berbeda. Pandangan klasik lebih mengarah kepada gaya kepemimpinan yang otokratis, yaitu dimana kepemimpinan diambil dari kekuatan posisi dan penggunaan otoritas. Sedangkan pandangan modern lebih mengarah kepada gaya kepemimpinan yang demokratis, yaitu yang dikaitkan dengan kekuatan personal dan keikutsertaan para pengikut dalam memecahkan masalah dan pengambilan keputusan.
1.      Gaya kepemimpinan kharismatik
Gaya kepemimpinan karismatik di perpustakaan Perguruan Tinggi adalah pimpinan perpustakaan mempunyai daya terik yang megnetik pada bawahannya, baik itu petugas perpustakaan, pustakawan, maupun clening servis yang bekerja dibawah kepemimpinannya. Kemampuan memengaruhi bawahannya dengan mendayagunakan keistimewaan atau kelebihan dalam sifat atau kepribadian pemimpin, sehingga menimbulkan rasa hormat, patuh dan segan pada bawahannya. Pengaruh inilah yang membuat pimpinan perpustakaan perguruan tinggi dapat menimbulkan kepercayaan atau keyakinan pada dirinya sendiri. Sehingga pimpinan yang seperti ini cenderung percaya diri daripada bawahannya.
Dalam gaya kepemimpinan ini, kepala perpustakaan mempunyai tanggung jawab yang besar dan membutuhkan komitmen jangka panjang. Dengan gaya kepemimpinan seperti ini, maka visi dan misi perpustakaan perguruan tinggi akan mudah dicapai, karena daya tarik seorang pimpinan yang bersifat karismatik sangat mempengaruhi. Anggota organisasi perpustakaan selalu menghormati kebijakan-kebijakan yang di buat oleh pimpinan perpustakaan. oleh karena itu, pimpinan perpustakaan harus paham akan manajemen perpustakaan perguruan tinggi serta harus didasari oleh pengetahuan yang memadai.
Pemimpin kharismatik menampilkan ciri-ciri memiliki visi yang amat kuat atau kesadaran tujuan yang jelas, mengkomunikasikan visi itu secara efektif, mendemontrasikan konsistensi dan fokus mengetahui kekuatan-kekuatan sendiri dan memanfaatkannya. Peran pimpinan disini sangat penting untuk menyuntik antusiasme bawahan dalam memajukan perpustakaan.
2.      Gaya Kepemimpinan Transaksional
Dalam gaya transaksional, pimpinan atau kepala perpustakaan perguruan tinggi memotivasi para pustakawan dalam melakukan tugas-tugas dan tanggung jawab masing-masing dalam mencapai sasaran yang sudah ditetapkan bersama, dengan memperjelas peran dan tugas masing-masing bagian. Pimpinan dalam hal ini sangat mendukung visi dan misi perpustakaan yang sudah di tetapkan.
Pimpinan mendorong kerja pustakawan dengan cara memberi imbalan kepada mereka yang bekerja maksimal dan mencapai tujuan. Mereka akan mencari solusi-solusi terhadap permasalahan yang belum terselesaikan. Dengan demikian, pustakawan atau bawahannya akan merasa nyaman bekerja dibawah kepemimpinan yang seperti ini.
Tipe gaya seperti ini sangat penting dalam perpustakaan perguruan tinggi, karena prinsip dasar gaya kepemimpinan seperti ini adalah menjadikan perpustakaan sebagai agen perubahan serta mendukung visi dan misi dari perguruan tinggi tempat perpustakaan itu berada. Mereka percaya bahwa bahawannya memilikikemampuan untuk melakukan semua tugas-tugas dengan baik dan akan berkerja maksimal dalam mencapai tujuan bersama.
3.      Gaya kepemimpinan transformasional
Gaya kepemimpian transaksional pada perpustakaan perguruan tinggi yaitu mencurahkan perhatian pada hal-hal dan pengembangan dari para pustakawan, sehingga pustakawan melakukan tugas dan tanggung jawabnya merasa diperhatikan terus oleh pimpinan. Gaya seperti ini akan mendorong pustakawan melakukan tugasnya dengan konsisten dan bertanggung jawab.
Pemimpin perpustakaan yang seperti ini sangat memotivasi pustakawan untuk melakukan tugas lebih dari yang diharapkan, dengan meningkatkan pemahaman pustakawan akan kegunaan dan nilai-nilai dari tujuan yang rinci dan real, membuat pustakawan mengalahkan kepentingan sendiri demi organisasi perpustakaan, mendorong pustakkawan untuk memenuhi kebutuhan tingkatan yang lebih tinggi.
Empat karakteristik pemimpin transformasional yang harus dimiliki oleh kepala perpustakaan perguruan tinggi:
a.       Kharisma: memberikan visi dan rasa atas misi, menanamkan kebanggaan, meraih penghormatan dan kepercayaan.
b.      Inspirasi: mengkomunikasikan harapan tinggi, menggunakan symbol untuk memfokuskan pada usaha, menggambarkan maksud penting secara sederhana.
c.       Stimulasi intelektual: mendorong intelegensia, rasionalitas, dan pemecahan masalah secara hati-hati.
d.      Pertimbangan individual: memberikan perhatian pribadi, melayani karyawan secara pribadi, melatih dan menasehati.
Untuk penerapan gaya kepemimpinan transformasional di perpustakaan perguruan tinggi, maka kepala perpustakaan harus memperhatikan hal-hal sebagai beriktu:
a.       Berdayakan seluruh anggota organisasi perpustakaan perguruan tinggi untuk melakukan hal yang terbaik untuk organisasi.
b.      Berusaha menjadi pemimpin yang bisa diteladani yang didasari nilai yang tinggi.
c.       Dengarkan semua pemikiran anggota organisasi untuk mengembangkan semangat kerja sama.
d.      Ciptakan visi yang dapat diyakini oleh semua orang dalam organisasi.
e.       Bertindak sebagai agen perubahan dalam organisasi dengan memberikan contoh bagaimana menggagas dan melaksanakan suatu perubahan.
f.       Menolong organisasi dengan cara menolong orang lain untuk berkontribusi terhadap organisasi.
4.      Gaya Kepemimpinan Partisipatif
Gaya kepemimpinan ini sangat cocok untuk gaya kepemimpinan perpustakaan perguruan tinggi, karena pimpinan ikut berperan serta dalam melakukan tugas-tugas dan tanggung jawab bersama. Kepemimpinan seperti ini menciptakan suasana yang nyaman dan menumbuhkan loyalitas dan partisipasi para karyawan bawahannya, pimpinan memotivasi bawahan agar merasa ikut bertanggung jawab terhadap kelancaran pelaksanaan tujuan yang diambil.
Gaya kepemimpinan partisipatif lebih menekankan pada tingginya dukungan dalam pembuatan keputusan dan kebijakan tetapi sedikit pengarahan. Gaya pemimpin yang tinggi dukungan dan rendah pengarahan dirujuk sebagai “partisipatif” karena posisi kontrol atas pemecahan masalah dan pembuatan keputusan dipegang secara bergantian. Dengan penggunaan gaya partisipatif ini, kepala perpustakaan dan para pustakawan saling bertukar pikiran dan ide dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Dengan demikian, pustakawan yang memiliki kemampuan lebih merasa dihargai dan bisa mengusulkan ide-ide yang cemerlang dan bisa diikutsertakan dalam proses pembuat keputusan demi memajukan perpustakaan perguruan tinggi.
5.      Gaya Kepemimpinan Otoriter
Menurut Nursalam (1996) gaya kepemimpinan otoriter adalah jika kekuasaan (wewenang) sebagian besar mutlak tetap berada pada pimppinan atau jika pimpinan itu menganut sistem sentralisasi wewenang, bawahan tidak pernah diikutsertakan dalam pengampilan keputusan.
Gaya kepemimpinan seperti ini sangat tidak cocok jika pimpinan atau kepala perpustakaan menggunakan gaya kepemimpinan otoriter dalam memimpin atau memanajemen perpustakaan, karena perpustakaan adalah pelayanan jasa non-profit. Dengan demikian, pustakawan merasa tidak dihargai, karena pimpinan dengan sesuka hati memerintah tanpa memikirkan dampak dikemudian hari. Akan ada kesenjangan sosial antara pimpinan perustakaan dengan bawahan, antara sesama pustakawan dan antara pustakawan dengan pengguna perpustaaan. Jika gaya kepemimpinan seperti ini diterapkan di perpustakaan perguruan tinggi, akan sedikit tugas-tugas yang terealisasi dengan baik.
Kepala perpustakaan perguruan tinggi selalu menempatkan dirinya sebagai penguasa. Dia tidak menerima masukan serta memberik kesempatan kepada bawahannya untuk memberi pendapat, saran, kritikan bahkan tidak diikut sertakan dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini akan berdmpak negatif terhadap lembaga perpustakaan itu sendiri.
Dalah hal ini pimpinan lebih mementingkan hasil tanpa mengetahui proses dan usaha atas tugas yang diemban pustakawan, selalu memberikan sanksi bila pekerjaan pustakawan tidak sesuai dengan perintah dan tidak pernah mendengarkan ide, pendapat, inovasi, kritik, maupun saran dari para pustakawan.
6.      Gaya kepemimpinan demokrasi
Gaya kepemimpinan demokratis menempatkan manusia sebagai faktor terpenting dalam kepemimpinan yang dilakukan berdasarkan dan mengutamakan orientasi pada hubungan dengan anggota organisasi (Nawawi, 2006:133).
Pengimplementasikan nilai-nilai demikratis dalam kepemimpinan perpustakaan perguruan tinggi yaitu memberikan kesempatan yang luas kepada para pustakawan untuk berpatisipasi dalam semua kegiatan sesuai dengan posisi dan wewenang masing-masing. Oleh karena itu, pimpinan perpustakaan harus selalu mengontrol seluruh kegiatan dengan tetap fokus pada pengembangan organisasi perpustakaan perguruan tinggi ke masa depan.
Adapun implementasi dalam gaya kepemimpinan ini adalah mengakui bahwa pustakawan sebagai makhluk sosial yang mempunyai kemampuan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, memberikan hak dan kesempatan yang sama pada setiap individu sebagai makhluk sosial dalam mengekpresikan dan mengaktualisasikan diri melalui prestasi masing-masing di lingkungan organisasinya.
7.      Gaya Kepemimpinan Bebas
Menurut Nawawi (2006:147) gaya kepemimpinan ini pada dasarnya berpandangan bahwa anggota organisasinya mampu mandiri dalam membuat keputusan atau mampu mengurus dirinya masing-masing dengan sedikit mungkin memberi pengarahan atau memberi petunjuk dalam merealisasi tugas pokok masing-masing sebagai bagian dari tugas pokok organisasi. Gaya kepemimpinan ini kebalikan dari gaya kepemimpinan otoriter, kepemimpinan dijalankan tanpa memimpin atau tanpa berbuat sesuatu dalam memengaruhi pikiran, perasaan, sikap dan perilaku organisasinya.
Gaya kepemimpinan bebas ini adalah dimana kepala perpustakaan memberikan kepercayaan kepada bawahannya melakukan tugas dan tanggung jawab masing-masing bidang. Dimana pimpinannya berasumsi bahwa bawahannya mampu menyelasaikan tugas dengan baik dengan menggunakan teknik-teknik mereka sendiri guna mencapai tujuan yang organisasi yang sudah di tetapkan.
Gaya kepemimpinan seperti ini kurang cocok jika diterapkan di perpustakaan perguruan tinggi, karena nanti akan terjadi konflik internar antara sesama pustakawan. Hal itu disebabkan banyak yang menjadi pimpinan yang memerintahkan sesuatu hal antara sesama. Apalagi diperpustakaan ada bagian-bagian tertentu yang harus dipimpin oleh kepala bagian. Tetapi gaya seperti ini bisa saja diterapkan di perpustakaan perguruan tinggi apabila ketua bagian sanggup manangani dan bertanggung jawab terhadap semua kegiatan yang berada dibawahnya.
8.      Gaya Kepemimpinan Otokratik
Gaya kepemimpinan otokratik adalah pimpinan perpustakaan perguruan tinggi mempunyai kekuasaan mutlak, sedangkan para pustakawan tidak mempunyai kebebasan untuk menggunakan kekuasaannya. Pimpinan otokrdaik bebas menghukum bawahannya yang tidak mematuhi perintah, bawahan tidak diberi kebebasan untuk menggunakan kekuasaanya. Pemimpin yang tergolong otokratik dipandang sebagai karakteritik yang negatif.
Pimpinan perpustakaan yang otoriter akan menujukan sikap yang menonjolkan  kelakuannya, antara lain dalam bentuk kecenderungan memperlakukan para pustakawan sama dengan alat-alat lain dalam organisasi, pengabaian peranan para pustakawan dalam proses pengambilan keputusan.
Kepemimpinan otokratis memiliki ciri-ciri antara lain: (1) mendasarkan diri pada kekuasaan dan paksaan mutlak yang harus dipatuhi, (2) pemimpinnya selalu berperan sebagai pemain tunggal, (3) berambisi untuk merajai situasi, (4) setiap perintah dan kebijakan selalu ditetapkan sendiri, (5) bawahan tidak pernah diberi informasi yang mendetail tentang rencana dan tindakan yang akan dilakukan, (6) semua pujian dan kritik terhadap segenap anak buah diberikan atas pertimbangan pribadi, (7) adanya sikap eksklusivisme, (8) selalu ingin berkuasa secara absolut, (9) sikap dan prinsipnya sangat konservatif, kuno, ketat dan kaku, (10) pemimpin ini akan bersikap baik pada bawahan apabila mereka patuh.

Kesimpulan
Secara umum, gaya kepemimpinan yang dikenal hanya dua gaya yaitu gaya kepemimpinan otoriter dan gaya kepemimpianan demokratis. Gaya kepemimpinan otoriter biasanya dipandang sebagai gaya yang didasarkan atas kekuatan posisi dan penggunaan otoritas dalam meaksanakan tugasnya sebagai pemimpin. Sedangkan gaya kepemimpinan demokratis dikaitkan dengan kekuatan personal dan keikutsertaan para pengikut dalam proses pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
Gaya kepemimpinan yang cocok untuk perpustakaan perguruan tinggi adalah gaya kepemimpinan yang disertai dengan motivasi internal dan eksternal yang dapat mengarahkan proses untuk pencapaian tujuan yang telah di tetapkan oleh perpustakaan perguruan tinggi. Adapun gaya kepemimpinan yang bagus untuk perpustakaan perguruan tinggi adalah gaya kepemimpinan yang demokratis. Karena semua anggota mempunyai hak dan tanggung jawab masing-masing dalam menjalani tugas, serta semua anggota bisa diikut sertakan dalam proses pembuat dan pengambil keputusan bersama.
Kepemimpinan gaya demokratis adalah kemampuan kepala perpustakaan perguruan tinggi dalam mempengaruhi pustakawan agar mau bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara berbagai kegiatan yang akan dilakukan dan ditentukan bersama antara pimpinan dan bawahan. Pemimpin yang demokratik biasanya memandang peranannya selaku koordinator dan integrator dari berbagai unsur dan komponen organisasi. Kepala perpustakaan menempatkan dirinya sebagai pengontrol, pengatur dan pengawas dari organisasi tersebut dengan tidak menghalangi hak-hak pustakawan untuk berpendapat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar