Perpustakaan
perguruan tinggi (PT) sebagai perpustakaan akademik telah dan akan terus memainkan
peran yang sangat penting dalam kehidupan suatu perguruan tinggi. Perpustakaan
akademik sangat diperlukan untuk riset, pengajaran dan pembelajaran. Secara
fisik, perpustakaan PT biasanya berlokasi di tengah kampus dan dianggap sebagai
“jantung perguruan tinggi”. Ia juga merupakan sumberdaya yang sangat bernilai
bagi bagian lain dari masyarakat.
Dalam Perpustakaan
Perguruan Tinggi: buku pedoman (1994) dinyatakan bahwa: Perpustakaan perguruan
tingi adalah unit pelaksana teknis (UPT) perguruan tinggi yang bersama-sama
dengan unit lain, turut melaksanakan Tri Dharma perguruan tinggi dengan cara
memilih, menyinpan, mrngolah, merawat serta melayankan sumber informasi kepada
lembaga induknya pada khususnya dan masyarakat akademis pada umumnya.
Menurut Sulistyo
(1993:51), perpustakaan perguruan tinggi adalah perpustakaan yang terdapat pada
perguruan tinggi, badan bawahannya, maupun badan yang menfaliasi dengan
perguruan tinggi, dengan tujuan utama membatu perguruan tinggi melaksanakan Tri
Darma Perguruan Tinggi.
Tujuan Perpustakaan Perguruan Tinggi
Tujuan
dari pendidikan perguruan tinggi untuk meningkatkan kualitas dari perguruan
tinggi tersebut, sekaligus juga meningkatkan sumber daya manusia (SDM) dan juga
untuk mencerdaskan setiap orang yang bernaung di perguruan tinggi tersebut.
Menurut
Sulistyo-Basuki (1993:52) secara umum tujuan perpustakaan perguruan tinggi
adalah sebagai berikut :
a.
Memenuhi
keperluan informasi masyarakat perguruan tinggi, lazimnya staf pengajaran dan
mahasiswa, sering pula mencakup tenaga administrasi perguruan tinggi.
b.
Menyediakan
bahan pustaka rujukan (referens) pada semua tingkat akademis, artinya mulai
dari mahasiswa tahun pertama hingga ke mahasiswa program sarjana dan pasca
sarjana.
c.
Menyediakan
ruang belajar untuk pemakai perpustakaan.
d.
Menyediakan
jasa peminjaman yang tepat guna bagi berbagai jenis pemakai.
e.
Menyediakan
jasa informasi aktif yang tidak saja terbatas pada lingkungan perguruan tinggi
tetapi juga lembaga industri lokal.
Kepemimpinan
di Perpustakaan Perguruan Tinggi
Berbagai
ahli berpendapat seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya dalam memimpin
suatu organisasi, satu dan lainnya mempunyai cara yang berbeda-beda. Hal ini
akan terliahat saat pemimpin itu memimpin rapat, mengambil keputusan, menegur
kesalahan pada bawahannya, menegakkan disiplin dan lain-lain. Hal ini akan
mempengaruhi organisasi yang dipimpinnya kelak. Ada dua pandangan tentang hal
ini. Pertama pandangan klasik yang menganggap bahwa pegawai itu pemalas,
bekerja hanya karena peringatan, bekerja sedikit mungkin.
Sedangkan
pandangan modern menganggap bahwa pergawai itu mempunyai perasaan, emosi, aktif
dan giat bekerja. Pandangan yang berbeda itu menyebabkan adanya gaya
kepemimpinan yang berbeda. Pandangan klasik lebih mengarah kepada gaya
kepemimpinan yang otokratis, yaitu dimana kepemimpinan diambil dari kekuatan
posisi dan penggunaan otoritas. Sedangkan pandangan modern lebih mengarah
kepada gaya kepemimpinan yang demokratis, yaitu yang dikaitkan dengan kekuatan
personal dan keikutsertaan para pengikut dalam memecahkan masalah dan
pengambilan keputusan.
1.
Gaya kepemimpinan kharismatik
Gaya
kepemimpinan karismatik di perpustakaan Perguruan Tinggi adalah pimpinan
perpustakaan mempunyai daya terik yang megnetik pada bawahannya, baik itu petugas
perpustakaan, pustakawan, maupun clening servis yang bekerja dibawah
kepemimpinannya. Kemampuan memengaruhi bawahannya dengan mendayagunakan
keistimewaan atau kelebihan dalam sifat atau kepribadian pemimpin, sehingga
menimbulkan rasa hormat, patuh dan segan pada bawahannya. Pengaruh inilah yang
membuat pimpinan perpustakaan perguruan tinggi dapat menimbulkan kepercayaan
atau keyakinan pada dirinya sendiri. Sehingga pimpinan yang seperti ini
cenderung percaya diri daripada bawahannya.
Dalam
gaya kepemimpinan ini, kepala perpustakaan mempunyai tanggung jawab yang besar
dan membutuhkan komitmen jangka panjang. Dengan gaya kepemimpinan seperti ini,
maka visi dan misi perpustakaan perguruan tinggi akan mudah dicapai, karena
daya tarik seorang pimpinan yang bersifat karismatik sangat mempengaruhi.
Anggota organisasi perpustakaan selalu menghormati kebijakan-kebijakan yang di
buat oleh pimpinan perpustakaan. oleh karena itu, pimpinan perpustakaan harus
paham akan manajemen perpustakaan perguruan tinggi serta harus didasari oleh
pengetahuan yang memadai.
Pemimpin
kharismatik menampilkan ciri-ciri memiliki visi yang amat kuat atau kesadaran
tujuan yang jelas, mengkomunikasikan visi itu secara efektif, mendemontrasikan
konsistensi dan fokus mengetahui kekuatan-kekuatan sendiri dan memanfaatkannya.
Peran pimpinan disini sangat penting untuk menyuntik antusiasme bawahan dalam
memajukan perpustakaan.
2.
Gaya Kepemimpinan Transaksional
Dalam
gaya transaksional, pimpinan atau kepala perpustakaan perguruan tinggi memotivasi
para pustakawan dalam melakukan tugas-tugas dan tanggung jawab masing-masing
dalam mencapai sasaran yang sudah ditetapkan bersama, dengan memperjelas peran
dan tugas masing-masing bagian. Pimpinan dalam hal ini sangat mendukung visi
dan misi perpustakaan yang sudah di tetapkan.
Pimpinan
mendorong kerja pustakawan dengan cara memberi imbalan kepada mereka yang
bekerja maksimal dan mencapai tujuan. Mereka akan mencari solusi-solusi
terhadap permasalahan yang belum terselesaikan. Dengan demikian, pustakawan
atau bawahannya akan merasa nyaman bekerja dibawah kepemimpinan yang seperti
ini.
Tipe
gaya seperti ini sangat penting dalam perpustakaan perguruan tinggi, karena
prinsip dasar gaya kepemimpinan seperti ini adalah menjadikan perpustakaan
sebagai agen perubahan serta mendukung visi dan misi dari perguruan tinggi
tempat perpustakaan itu berada. Mereka percaya bahwa bahawannya
memilikikemampuan untuk melakukan semua tugas-tugas dengan baik dan akan
berkerja maksimal dalam mencapai tujuan bersama.
3.
Gaya kepemimpinan transformasional
Gaya
kepemimpian transaksional pada perpustakaan perguruan tinggi yaitu mencurahkan
perhatian pada hal-hal dan pengembangan dari para pustakawan, sehingga
pustakawan melakukan tugas dan tanggung jawabnya merasa diperhatikan terus oleh
pimpinan. Gaya seperti ini akan mendorong pustakawan melakukan tugasnya dengan
konsisten dan bertanggung jawab.
Pemimpin
perpustakaan yang seperti ini sangat memotivasi pustakawan untuk melakukan
tugas lebih dari yang diharapkan, dengan meningkatkan pemahaman pustakawan akan
kegunaan dan nilai-nilai dari tujuan yang rinci dan real, membuat pustakawan
mengalahkan kepentingan sendiri demi organisasi perpustakaan, mendorong
pustakkawan untuk memenuhi kebutuhan tingkatan yang lebih tinggi.
Empat
karakteristik pemimpin transformasional yang harus dimiliki oleh kepala
perpustakaan perguruan tinggi:
a. Kharisma: memberikan visi dan rasa atas misi,
menanamkan kebanggaan, meraih penghormatan dan kepercayaan.
b. Inspirasi: mengkomunikasikan harapan tinggi,
menggunakan symbol untuk memfokuskan pada usaha, menggambarkan maksud penting
secara sederhana.
c. Stimulasi intelektual: mendorong intelegensia,
rasionalitas, dan pemecahan masalah secara hati-hati.
d. Pertimbangan individual: memberikan perhatian
pribadi, melayani karyawan secara pribadi, melatih dan menasehati.
Untuk
penerapan gaya kepemimpinan transformasional di perpustakaan perguruan tinggi,
maka kepala perpustakaan harus memperhatikan hal-hal sebagai beriktu:
a. Berdayakan
seluruh anggota organisasi perpustakaan perguruan tinggi untuk melakukan hal
yang terbaik untuk organisasi.
b. Berusaha
menjadi pemimpin yang bisa diteladani yang didasari nilai yang tinggi.
c. Dengarkan
semua pemikiran anggota organisasi untuk mengembangkan semangat kerja sama.
d. Ciptakan
visi yang dapat diyakini oleh semua orang dalam organisasi.
e. Bertindak
sebagai agen perubahan dalam organisasi dengan memberikan contoh bagaimana
menggagas dan melaksanakan suatu perubahan.
f. Menolong
organisasi dengan cara menolong orang lain untuk berkontribusi terhadap
organisasi.
4.
Gaya Kepemimpinan Partisipatif
Gaya
kepemimpinan ini sangat cocok untuk gaya kepemimpinan perpustakaan perguruan
tinggi, karena pimpinan ikut berperan serta dalam melakukan tugas-tugas dan
tanggung jawab bersama. Kepemimpinan seperti ini menciptakan suasana yang
nyaman dan menumbuhkan loyalitas dan partisipasi para karyawan bawahannya,
pimpinan memotivasi bawahan agar merasa ikut bertanggung jawab terhadap
kelancaran pelaksanaan tujuan yang diambil.
Gaya
kepemimpinan partisipatif lebih menekankan pada tingginya dukungan dalam
pembuatan keputusan dan kebijakan tetapi sedikit pengarahan. Gaya pemimpin yang
tinggi dukungan dan rendah pengarahan dirujuk sebagai “partisipatif” karena
posisi kontrol atas pemecahan masalah dan pembuatan keputusan dipegang secara
bergantian. Dengan penggunaan gaya partisipatif ini, kepala perpustakaan dan
para pustakawan saling bertukar pikiran dan ide dalam memecahkan masalah yang
dihadapi. Dengan demikian, pustakawan yang memiliki kemampuan lebih merasa
dihargai dan bisa mengusulkan ide-ide yang cemerlang dan bisa diikutsertakan
dalam proses pembuat keputusan demi memajukan perpustakaan perguruan tinggi.
5.
Gaya Kepemimpinan Otoriter
Menurut
Nursalam (1996) gaya kepemimpinan otoriter adalah jika kekuasaan (wewenang)
sebagian besar mutlak tetap berada pada pimppinan atau jika pimpinan itu
menganut sistem sentralisasi wewenang, bawahan tidak pernah diikutsertakan
dalam pengampilan keputusan.
Gaya
kepemimpinan seperti ini sangat tidak cocok jika pimpinan atau kepala
perpustakaan menggunakan gaya kepemimpinan otoriter dalam memimpin atau
memanajemen perpustakaan, karena perpustakaan adalah pelayanan jasa non-profit. Dengan demikian, pustakawan merasa
tidak dihargai, karena pimpinan dengan sesuka hati memerintah tanpa memikirkan
dampak dikemudian hari. Akan ada kesenjangan sosial antara pimpinan perustakaan
dengan bawahan, antara sesama pustakawan dan antara pustakawan dengan pengguna
perpustaaan. Jika gaya kepemimpinan seperti ini diterapkan di perpustakaan
perguruan tinggi, akan sedikit tugas-tugas yang terealisasi dengan baik.
Kepala
perpustakaan perguruan tinggi selalu menempatkan dirinya sebagai penguasa. Dia
tidak menerima masukan serta memberik kesempatan kepada bawahannya untuk
memberi pendapat, saran, kritikan bahkan tidak diikut sertakan dalam proses
pengambilan keputusan. Hal ini akan berdmpak negatif terhadap lembaga
perpustakaan itu sendiri.
Dalah
hal ini pimpinan lebih mementingkan hasil tanpa mengetahui proses dan usaha
atas tugas yang diemban pustakawan, selalu memberikan sanksi bila pekerjaan
pustakawan tidak sesuai dengan perintah dan tidak pernah mendengarkan ide,
pendapat, inovasi, kritik, maupun saran dari para pustakawan.
6.
Gaya kepemimpinan demokrasi
Gaya
kepemimpinan demokratis menempatkan manusia sebagai faktor terpenting dalam
kepemimpinan yang dilakukan berdasarkan dan mengutamakan orientasi pada
hubungan dengan anggota organisasi (Nawawi, 2006:133).
Pengimplementasikan
nilai-nilai demikratis dalam kepemimpinan perpustakaan perguruan tinggi yaitu
memberikan kesempatan yang luas kepada para pustakawan untuk berpatisipasi
dalam semua kegiatan sesuai dengan posisi dan wewenang masing-masing. Oleh
karena itu, pimpinan perpustakaan harus selalu mengontrol seluruh kegiatan
dengan tetap fokus pada pengembangan organisasi perpustakaan perguruan tinggi
ke masa depan.
Adapun
implementasi dalam gaya kepemimpinan ini adalah mengakui bahwa pustakawan
sebagai makhluk sosial yang mempunyai kemampuan yang berbeda antara satu dengan
yang lainnya, memberikan hak dan kesempatan yang sama pada setiap individu
sebagai makhluk sosial dalam mengekpresikan dan mengaktualisasikan diri melalui
prestasi masing-masing di lingkungan organisasinya.
7.
Gaya Kepemimpinan Bebas
Menurut
Nawawi (2006:147) gaya kepemimpinan ini pada dasarnya berpandangan bahwa
anggota organisasinya mampu mandiri dalam membuat keputusan atau mampu mengurus
dirinya masing-masing dengan sedikit mungkin memberi pengarahan atau memberi
petunjuk dalam merealisasi tugas pokok masing-masing sebagai bagian dari tugas
pokok organisasi. Gaya kepemimpinan ini kebalikan dari gaya kepemimpinan
otoriter, kepemimpinan dijalankan tanpa memimpin atau tanpa berbuat sesuatu
dalam memengaruhi pikiran, perasaan, sikap dan perilaku organisasinya.
Gaya
kepemimpinan bebas ini adalah dimana kepala perpustakaan memberikan kepercayaan kepada
bawahannya melakukan tugas dan tanggung jawab masing-masing bidang. Dimana
pimpinannya berasumsi bahwa bawahannya mampu menyelasaikan tugas dengan baik
dengan menggunakan teknik-teknik mereka sendiri guna mencapai tujuan yang
organisasi yang sudah di tetapkan.
Gaya
kepemimpinan seperti ini kurang cocok jika diterapkan di perpustakaan perguruan
tinggi, karena nanti akan terjadi konflik internar antara sesama pustakawan.
Hal itu disebabkan banyak yang menjadi pimpinan yang memerintahkan sesuatu hal
antara sesama. Apalagi diperpustakaan ada bagian-bagian tertentu yang harus
dipimpin oleh kepala bagian. Tetapi gaya seperti ini bisa saja diterapkan di
perpustakaan perguruan tinggi apabila ketua bagian sanggup manangani dan
bertanggung jawab terhadap semua kegiatan yang berada dibawahnya.
8.
Gaya Kepemimpinan Otokratik
Gaya
kepemimpinan otokratik adalah pimpinan perpustakaan perguruan tinggi mempunyai
kekuasaan mutlak, sedangkan para pustakawan tidak mempunyai kebebasan untuk
menggunakan kekuasaannya. Pimpinan otokrdaik bebas menghukum bawahannya yang
tidak mematuhi perintah, bawahan tidak diberi kebebasan untuk menggunakan
kekuasaanya. Pemimpin yang tergolong otokratik dipandang sebagai karakteritik
yang negatif.
Pimpinan
perpustakaan yang otoriter akan menujukan sikap yang menonjolkan kelakuannya, antara lain dalam bentuk kecenderungan
memperlakukan para pustakawan sama dengan alat-alat lain dalam organisasi,
pengabaian peranan para pustakawan dalam proses pengambilan keputusan.
Kepemimpinan
otokratis memiliki ciri-ciri antara lain: (1) mendasarkan diri pada kekuasaan
dan paksaan mutlak yang harus dipatuhi, (2) pemimpinnya selalu berperan sebagai
pemain tunggal, (3) berambisi untuk merajai situasi, (4) setiap perintah dan
kebijakan selalu ditetapkan sendiri, (5) bawahan tidak pernah diberi informasi
yang mendetail tentang rencana dan tindakan yang akan dilakukan, (6) semua
pujian dan kritik terhadap segenap anak buah diberikan atas pertimbangan
pribadi, (7) adanya sikap eksklusivisme, (8) selalu ingin berkuasa secara
absolut, (9) sikap dan prinsipnya sangat konservatif, kuno, ketat dan kaku,
(10) pemimpin ini akan bersikap baik pada bawahan apabila mereka patuh.
Kesimpulan
Secara
umum, gaya kepemimpinan yang dikenal hanya dua gaya yaitu gaya kepemimpinan
otoriter dan gaya kepemimpianan demokratis. Gaya kepemimpinan otoriter biasanya
dipandang sebagai gaya yang didasarkan atas kekuatan posisi dan penggunaan
otoritas dalam meaksanakan tugasnya sebagai pemimpin. Sedangkan gaya
kepemimpinan demokratis dikaitkan dengan kekuatan personal dan keikutsertaan
para pengikut dalam proses pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
Gaya kepemimpinan
yang cocok untuk perpustakaan perguruan tinggi adalah gaya kepemimpinan yang
disertai dengan motivasi internal dan eksternal yang dapat mengarahkan proses
untuk pencapaian tujuan yang telah di tetapkan oleh perpustakaan perguruan
tinggi. Adapun gaya kepemimpinan yang bagus untuk perpustakaan perguruan tinggi
adalah gaya kepemimpinan yang demokratis. Karena semua anggota mempunyai hak
dan tanggung jawab masing-masing dalam menjalani tugas, serta semua anggota
bisa diikut sertakan dalam proses pembuat dan pengambil keputusan bersama.
Kepemimpinan gaya demokratis adalah kemampuan kepala
perpustakaan perguruan tinggi dalam mempengaruhi pustakawan agar mau
bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara berbagai
kegiatan yang akan dilakukan dan ditentukan bersama antara pimpinan dan
bawahan. Pemimpin yang demokratik biasanya memandang peranannya selaku
koordinator dan integrator dari berbagai unsur dan komponen organisasi. Kepala perpustakaan
menempatkan dirinya sebagai pengontrol, pengatur dan pengawas dari organisasi
tersebut dengan tidak menghalangi hak-hak pustakawan untuk berpendapat.